5 FAIDAH PUASA SYAWAL

Alhamdulillah, kita saat ini telah berada di bulan Syawal tepatnya 14 Syawwal 1445 H. Dalam Islam ada satu prinsip kehidupan yang sangat bagus untuk diterapkan, mengacu pada surat al-insyirah ayat 7 dan 8 (ayat-ayat terakhir),

 فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ ٧  وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب ٨

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS. Al-Insyirah/[94]: 7-8)

Maka dengan prinsip tersebut, setelah kita menuntaskan kewajiban kita di bulan Ramadhan kemudian masuk di bulan Syawal ini kita lanjutkan dengan ibadah yang lain yaitu puasa 6 hari di bulan Syawwal. Maka dengan puasa 6 hari di bulan Syawwal ini akan menggenapkan pahala puasa menjadi setahun penuh (ini faidah yang pertama).

Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” [HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori]

Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan dilipatgandakan sampai 10 kali lipat. Satu bulan Ramadhan sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[ Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. (Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal)(QS. Al An’am ayat 160)[HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban] Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal. Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.

Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.

Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah. [Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

“Hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat dari amal seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka sungguh dia beruntung dan selamat. Jika shalatnya buruk, maka sungguh dia celaka dan rugi. Jika ada kekurangan pada shalat wajibnya, Allah Ta’ala berfirman, “Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?” Demikianlah yang berlaku pada seluruh amal wajibnya.” (HR. Tirmidzi no. 413, An-Nasa’i no. 466, shahih)

Artinya ibadah sunnah akan berfungsi sebagai penyempurna, hanya untuk ibadah-ibadah yang sejenis. Seperti, kekurangan pada shalat wajib, akan tertutupi oleh semua shalat sunnah yang kita lakukan. Kekurangan pada puasa wajib, akan terbayar dengan semua puasa sunnah yang kita kerjakan. Kekurangan pada zakat, akan terlengkapi oleh semua sedekah sunnah yang kita tunaikan. Demikian seterusnya.

Maula Ali Al-Qari rahimahullah, dalam kitab Mirqootul Mafaatih menegaskan,

(هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطُوِّعٍ؟ ) : فِي صَحِيفَتِهِ ، وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِ مِنْهُمْ ، أَيْ: سُنَّةٍ ، أَوْ نَافِلَةٍ ، مِنْ صَلَاةٍ ، عَلَى مَا هُوَ ظَاهِرٌ مِنَ السِّيَاقِ ، قَبْلَ الْفَرْضِ ، أَوْ بَعْدَهُ ، أَوْ مُطْلَقًا “.

Firman Allah ta’ala, “Lihatlah apakah hambaKu memiliki ibadah Sunah?”, Maksudnya di lembaran catatan amalnya, dan Allah lebih mengetahui daripada para malikat pencatat amal itu, adakah penyempurna dari shalat, sebagaimana yang tersebut dalam zahir hadis; baik shalat sunnah rawatib qabliyah (sebelum sholat fardhu) ataupun ba’diyah (setelah sholat fardhu), atau sholat sunah mutlak (yang tak terikat waktu). (Lihat : Mirqootul Mafaatih 3 /379)

Demikian pula diterangkan oleh Syekh Husain bin Mahmud Az-Zaidani Al-Madzhari rahimahullah, penulis kitab Al-Mafaatih Fi Syarhil Mashoobih,

“ثم يكونُ سائرُ عَمَلِه على ذلك” ؛ يعني كذلك الصوم ، إن تركَ شيئًا من الصيام الواجِب ، يؤخذ بدلَه ما صام من السُّنَّة والنوافل ، وإن ترك شيئًا من الزكاة ، يؤخذ بدلَها ما أعطى من الصدقات “

Sabda Nabi, “Demikianlah yang berlaku pada seluruh amal wajibnya.” Maksudnya adalah, demikian juga puasa, jika seorang meninggalkan suatu penyempurna ibadah puasa wajibnya, maka akan disempurnakan oleh ibadah puasa yang hukumnya sunnah. Demikian pula zakat, jika seorang kurang sempurna menunaikannya, penggantinya akan diambilkan dari sedekah-sedekah sunnah. (Lihat : Al-Mafaatih Fi Syarhil Mashabih, 2/306, dikutip dari islamqa)

Para ulama di Lajnah Daimah berkata,

تَطَوُّعُ كُلِّ فَرِيضَةٍ مِنْ صَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَنَحْوِهَا يَكْمُلُ بِهَا مَا نَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ

“Ibadah sunnah setiap (yang mengikuti) ibadah yang fardhu berupa shalat, puasa, zakat, dan semisalnya menyempurnakan kekurangan pada amal fardhu.” (7/235)

Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda/indikasi diterimanya amalan puasa Ramadhan.

Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal. [Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan hal ini dengan perkataan ulama salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.” [Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394]

Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!

Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.

Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.

Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!

Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”

Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan.

Diceritakan oleh Ibunda ‘Aisyah Radhiallahu’anha,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلاَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا ». رواه مسلم.

“’Aisya radhiyallahu anha berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no. 1130, Muslim no. 2820).

Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)

Para Salafushshalih seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.

Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).” [Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 394-395.]

Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja.

Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.

Alloh SWT berfirman:

 وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ ٩٩

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS. Al Hijr: 99)

Sebagian salafushshalih ketika ditanya tentang orang-orang yang beribadah di bulan Ramadhan, namun ketika Ramadhan usai mereka tinggalkan ibadah tersebut. Maka dijawab dengan ungkapan yang sangat baik yaitu:

بِئسَ القومُ لا يعرفون اللهَ إلا في رمضان

“Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan”

Mereka juga menasihati kita dengan kalimat-kalimat penuh hikmah lainnya, yakni:

Para ulama sering menasehatkan:

كُن ربانيًّا ولا تكن رمضانيًّا

“Jadilah engkau hamba Allah Ta’ala, janganlah engkau menjadi hamba Ramadhan.”

Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.

‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً

“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).” [HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783]

Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan akhir untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup. [Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79]

Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.” [Latho-if Al Ma’arif, hal. 399]

Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.

Kesimpulan ringkas cara melaksanakan puasa Syawal adalah:

  1. Puasanya dilakukan selama enam hari.
  2. Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
  3. Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
  4. Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu, sebab puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
  5. Boleh mengerjakana puasa Syawwal dulu sebelum mengqadha puasa Ramadhan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *